ORGANIK DALAM ERA PERTANIAN MODERN
Impian petani dan pendukung kaum tani di dalam melepaskan diri dari
jeratan teknologi kapitalis tampak akan terpenuhi dengan mulai maraknya
praktik pertanian dengan input produksi organik.
Di tengah optimisme dan semangat mewujudkan impian tersebut,
kekhawatran muncul bahwa mimpi tersebut akan tetap menjadi mimpi ketika
terlalu besar harapan, yang kemudian memunculkan mitos.
Tanpa perhatian yang penuh, mitos ini akan menisbikan program bantuan
pemerintah kepada petani, khususnya ketika pasar tidak melihat upaya
ini sesuatu yang pantas mendapat premi.
Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 1977 mendefinisikan
pertanian organik sebagai sebuah sistem manajemen produksi berbasis
agroekologi yang memacu dan mendorong keanekaragaman hayati, siklus
biologi, dan aktivitas biologi tanah.
Praktiknya adalah penggunaan input luar-lahan minimal dan upaya
memperkaya, mempertahankan, serta meningkatkan keharmonisan ekologi.
Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tujuan utamanya adalah
mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling
berketergantungan antara kehidupan dalam tanah, hewan, dan manusia.
Klaim atau doktrin yang banyak dianut oleh pelaku paham pertanian
organik adalah bahwa organik lebih sehat daripada input kimia seolah
ingin memanfaatkan momentum prevalensi pasar yang menuntut bahan makanan
yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu penyakit serius.
Dalam beberapa tahun terakhir pikiran konsumen secara sukarela dibawa
oleh doktrin tersebut walaupun ada banyak kejanggalan dalam logika
berpikir para penganut aliran pertanian organik.
Bukti sukses
Sebuah penelitian jangka panjang di Universitas Cornell memberikan
gambaran menakjubkan tentang hasil pengamatan selama 22 tahun.
Dibuktikan bahwa secara keseluruhan produksi jagung dan kedelai dari
perlakuan pertanian organik relatif sama dengan pertanian konvensional
yang menggunakan pupuk kimia buatan.
Keuntungannya adalah bahwa pertanian organik menghemat konsumsi
energi (bahan bakar minyak) sebesar 30 persen, menahan air lebih lama di
musim kering dan tidak memerlukan pestisida. Namun, hasil yang
diperoleh pada empat tahun pertama produksinya 33 persen lebih rendah
daripada perlakuan konvensional.
Setelah bahan organik terkumpul di dalam tanah, sejak tahun kelima
produksinya mulai sama atau lebih tinggi daripada konvensional, terutama
karena lebih tahan selama musim kering.
Dilaporkan
pula bahwa pertanian organik mampu menyerap dan menahan karbon ( C )
sehingga sangat bermanfaat dalam mitigasi pemanasan global. Kandungan
bahan organik tanah naik 15-28 persen yang setara dengan 1.500 kilogram
CO2 dari udara.
Walaupun biaya produksi pada sistem pertanian organik 15 persen lebih
tinggi daripada konvensional, dengan harga yang cukup baik pada tanaman
sereal kenaikan ini tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, sistem
pertanian organik tidak mampu memberikan keuntungan untuk tanaman
anggur, apel, ceri, dan umbi-umbian.
Beberapa keberhasilan sejenis juga dilaporkan di Afrika, India, dan
China. Namun, hasil-hasil tersebut masih menimbulkan pro dan kontra,
terutama dari para ahli ilmu tanah yang tidak bisa menerima alasan bahwa
hal tersebut semata-mata akibat organik versus kimia.
Mitos pertanian organik
Keberhasilan input organik dengan menggeser peran input kimia sebagai
sebuah monumen inovasi dari Revolusi Hijau 60 tahun yang lalu semula
dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan ilmu tanah yang memahami dengan
baik hubungan tanah dengan tanaman.
Namun, ketika gejala yang berkembang, khususnya di Amerika Serikat,
makin mengkhawatirkan, beberaa pendapat mulai bermunculan. Salah satunya
adalah yang diuraikan oleh Throckmorton (2007), seorang dekan dari
Kansas Sate College.
Keberatannya terhadap doktrin pertanian organik adalah bahwa tidak
mungkin peran pupuk kimia digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik. Pertama, jika hal itu mungkin, dunia akan kekurangan biomassa untuk produksi pupuk organik karena dosisnya luar biasa besar.
Kedua, tanaman tidak hanya ditentukan oleh humus saja,
tetapi oleh faktor-faktor lain seperti bahan organik aktif, nutrisi
mineral tersedia, aktivitas mikroba tanah, aktivitas kimia dalam larutan
tanah, dan kondisi fisik tanah.
Bahan organik tanah memang sering disebut sebagai “nyawa dari tanah”
sebagai ekspresi dari perannya mendukung aktivitas mikroba tanah. Peran
lain dari bahan ini memang diakui penting, tetapi bukan satu-satunya
dalam pelarutan hara, pembenah tanah, dan kapasitas menahan air.
Fakta lain adalah bahwa bahan organik mengandung nutrisi tanaman
sangat kecil. Klaim bahwa nutrisi asal bahan organik (kompos, pupuk
organik) lebih “alami” dibandingkan asal pupuk kimia sangat tidak masuk
akal, apalagi dihubungkan dengan kesehatan manusia.
Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tanah organik (kadar bahan
organik sangat tinggi) percobaan gandum, kentang, dan kubis di Amerika
Serikat pada yang dipupuk kimia buatan mencapai 5 – 54 kali lebih besar
daripada yang tidak dipupuk kimia. Satu bukti lain bahwa organik bukan
satu-satunya unsur utama dalam produksi tanaman adalah sistem
hidroponik.
Kebijakan pemerintah, seperti Go Organic 2010, penerbitan SNI Sistem
Pangan organik (01-6729-2002), dan subsidi pupuk organik merupakan
langkah-langkah kongkret yang perlu diawasi implementasinya. Di samping
itu, pertimbangan yang mendalam perlu dilakukan dengan memerhatikan
dampak krisis keuangan 2008.
Daya beli masyarakat menurun, seperti yang dilaporkan di Inggeris,
berdampak stagnasi pada pertumbuhan produk pertanian organik pada
tingkat 2 persen. Konsumen yang mengutamakan rupa daripada rasa juga
tidak mudah berubah ke produk organik.
Di sisi lain, kemampuan produksi input organik untuk menopang
produktivitas pangan yang dibutuhkan jauh dari memadai akibat
keterbatasan dan terpencarnya bahan baku. Untuk itu, mitos-mitos yang
terkait dengan produk organik harus dihapus dan diberikan pemahaman yang
benar kepada petani.
Kombinasi optimal antara input anorganik dan organik akan mampu
memenuhi persyaratanberbagai pihak, baik teknis, ekonomi, lingkungan,
maupun kesehatan konsumen.