Sepertinya sudah menjadi hukum alam jika ada kemakmuran maka di situ
juga terdapat kemiskinan. Terlepas dari masih tingginya tingkat
kemiskinan di dalam negeri, pengalaman yang lebih miris ternyata dialami
oleh sebagian penduduk di negara China.
Dibalik kesuksesan negara Tirai Bambu ini menyaingi hegemoni negara
barat dalam bidang ekonomi dan perdagangan, namun potret buram
kemiskinan masih sangat kental terlihat. Minimnya kesejahteraan penduduk
di beberapa wilayah sejalan dengan buruknya pendidikan yang ada.
Potret itu bisa dilihat dari Wang Ziqi, bocah perempuan berusia tiga
tahun di Shunhe, Provinsi Hubei. Di saat memasuki tahun ajaran baru di
sekolah, Wang tidak hanya dituntut untuk menyiapkan berbagai keperlua
sekolah berupa pensil atau buku. Lebih dari itu, Wang juga terpaksa
membawa meja dan kursi sendiri ke sekolah.
Pemandangan miris ini terjadi setiap tahun ajaran baru. Untuk membawa
meja dan bangku, Wang biasanya dibantu oleh kakak dan neneknya. http://astrounika.blogspot.com/
Walau demikian, Wang bukanlah satu-satunya siswa yang terpaksa membawa
meja dan kursi dari rumah. Setidaknya ada lebih dari 3 ribu siswa
lainnya di sekolah dasar dan sekolah menengah di Shunhe yang dipaksa
membawa mejanya sendiri. Kondisi itu terjadi karena keterbatasan
fasilitas yang diberikan pemerintah. Mereka hanya menyediakan sekitar 2
ribu pasang kursi dan meja. Padahal ada lebih dari 2 ribu siswa yang
bersekolah.
Nenek dan kakak Wang Ziqi membantu membawakan meja dan kursi ke sekolah.
Di kota miskin tersebut, para orang tua murid terpaksa menggunakan apa
saja yang mereka bisa gunakan, termasuk membawa meja kopi ke sekolah
agar anak-anak mereka dapat belajar. http://astrounika.blogspot.com/
Saat dimintai komentar, banyak orang tua yang mengeluh. Mereka menyalahkan sistem pemerintahan yang dianggap sangat korup.
Orang tua di Shunhe akan menggunakan apapun yang dimiliki agar anaknya tetap bersekolah.
"Pemerintah pusat memberikan dana untuk fasilitas sekolah," kata seorang
wali murid kepada stasiun berita NBC. "Tapi ketika sampai ke tempat
kami, uang itu menghilang.”
Meski pemerintah setempat di sana sudah merespon dengan memberikan
tambahan meja dan berkomitmen akan memberikan bantuan lebih dari US$
600.000 untuk menutup defisit anggaran, namun banyak dari penduduk yang
tetap tidak percaya dengan janji-janji tersebut.
“Saya lebih suka percaya ada hantu di dunia ini daripada mempercayai
janji-janji pemerintah,” tulis salah satu kometar pada berita Changjiang
Times
Berkaca dari kasus ini, kita hanya bisa mengharapkan pemerintah
Indonesia tidak melakukan hal yang sama karena mewariskan kecerdasan dan
ilmu bagi generasi muda lebih berharga daripada mewariskan harta
semata.
sumber